DAMPAK
PEMILU 2014 TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Tahun
2014 merupakan tahun politik yang dikhawatirkan akan menimbulkan
sedikit kebisingan dan kegaduhan politik. Ditambah dengan adanya
suksesi kepemimpinan nasional, sedikit-banyak hal ini akan
mempengaruhi perekonomian Indonesia.
Setelah
Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan Anggota Legislatif
(DPR-RI) periode 2014-2019 secara demokratis, kita perlu bersyukur
bahwa masa kampanye Pilpres untuk memilih Presiden RI periode
2014-2019 secara umum berlangsung secara aman, tertib dan damai. Hal
ini semakin menegaskan kualitas dan kematangan berdemokrasi di
Indonesia pasca-reformasi semakin baik. Hal ini penting karena tertib
dan terkendalinya stabilitas politik, keamanan dan ketertiban semasa
kampanye merupakan prime-causa
berjalan
baiknya pembangunan ekonomi suatu negara. Praktis tidak ada satupun
negara di dunia mampu memajukan perekonomiannya di tengah
ketidakstabilan politik dan keamanan.
Ketika
Pilpres berjalan secara aman, demokratis dan tertib maka dipastikan
ekonomi setelah Pilpres akan semakin meningkat. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor. Pertama, dengan hadirnya Presiden dan Kabinet
baru akan meningkatkan ekspektasi dari masyarakat dan dunia usaha.
Presiden dan Kabinet Baru dipastikan mengusung tema perubahan dan
perbaikan dari periode sebelumnya. Selain itu juga, Presiden dan
Kabinet Baru akan berusaha sekuat tenaga mewujudkan janji-janji
politik semasa kampanye Pilpres.
Kedua,
terjaganya situasi aman dan tertib akan semakin meningkatkan
kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Investor baik
di pasar modal maupun sector riil sangat sensitive terhadap
stabilitas politik karena dapat mengganggu perencanaan dan imbal
balik investasi mereka. Terlebih investasi di sector riil dan
infrastruktur yang bersifat jangka panjang. BKPM sendiri menargetkan
bahwa sepanjang 2014 diharapkan adanya realisasi investasi di atas
Rp. 456,6 triliun. Optimisme hal ini terwujud juga tercermin pada
realisasi investasi kuartal I-2014 yang mencapai Rp. 106,6 triliun
dan meningkat sebesar 14,6 persen dibandingkan periode yang sama
tahun lalu.
Ketiga,
dengan terjaganya situasi aman dan tenang selama Pilpres maka akan
semakin menegaskan bahwa Indonesia menjadi Negara tujuan investasi
penting di Asia-Pasifik. Seiring dengan semakin membesarnya jumlah
kelas menengah, kebijakan industrialisasi dan hilirisasi, pembangunan
infrastruktur serta strategi pengelolaan inflasi yang terpadu akan
mendorong ke dua sisi aspek ekonomi baik dari sisi permintaan maupun
pasokan. Capital-inflow
baik
untuk pasar modal maupun investasi juga diprediksi akan semakin
meningkat. Hal ini juga diperkuat dengan komitmen yang tinggi dari
Pemerintah untuk terus menjaga fundamental perekonomian nasional.
Tentunya
kita semua berharap akan halnya pasca Pilpres 2004 dan 2009 bahwa
semua kontestasi politik electoral berakhir setelah terpilihnya
Presiden hasil pemungutan suara langsung. Masing-masing pendukung,
relawan dan tim-sukses harus menerima siapapun yang diberikan mandate
oleh rakyat, berupa suara terbanyak. Prinsip siap menang dan siap
kalah merupakan keniscayaan di era demokrasi. Dukungan dari semua
pihak siapapun nantinya yang akan terpilih sebagai Presiden RI
2014-2019 merupakan modal penting bagi bangsa ini untuk menyukseskan
pembangunan ekonomi lima tahun mendatang.
Tidak
perlu terlalu pesimistis dan khawatir terhadap hajatan politik 2014,
karena hajatan politik dengan dana triliunan rupiah dapat menjadi
kebijakan countercyclical yang dapat menstimulus perekonomian
Indonesia. Seberapa besar dampak pengungkit Pemilu 2014 terhadap
perekonomian Indonesia sangat bergantung pada seberapa besar uang
yang beredar dalam perekonomian sebagai akibat dari kegiatan Pemilu
2014. Hal ini juga bergantung pada bagaimana dana tersebut
dialokasikan.
Gelaran
pesta demokrasi di Indonesia kali ini disebut tidak akan memberikan
dampak positif bagi perekonomian rakyat. Pasalnya, meski belanja
partai untuk kampanye meningkat, namun tidak berdampak signifikan
karena pasar Indonesia disesaki oleh barang impor.
Pengamat
INDEF, Enny Sri Hartati, mengatakan ketergantungan pemerintah pada
impor membuat belanja partai justru menguntungkan negara lain tanpa
menghidupkan industri dalam negeri. "Pemilu 2009 waktu itu
neraca perdagangan kita masih surplus karena masih dipenuhi dalam
negeri berarti industri kita bergerak. Peningkatan belanja parpol ada
multi efek ke produksi ini akselerasi ekonomi. Sekarang banyak
dipenuhi impor ke pertumbuhan terbatas. Kontribusi pemilu terbatas
2014 ini," ucap Enny di Jakarta, Rabu (2/4).
Selain
itu, sifat pemerintah yang rajin impor juga disebabkan karena
tingginya inflasi di Indonesia. Inflasi membuat produksi dalam negeri
terhambat karena tingginya harga.
Kondisi
ini juga berbeda dengan Pemilu 2009 silam, di mana sebelum pemilu
Presiden SBY masih sempat menurunkan harga BBM subsidi. "2009
masih sempat menurunkan BBM jadi inflasi menjadi kecil dan daya beli
terjaga. Jadi ada dampak ke pertumbuhan perekonomian," tutupnya.
Data
menunjukkan bahwa biaya investasi politik/dana kampanye bagi para
calon legislator sebesar Rp 750 juta-1 miliar per caleg DPR dan
sebesar Rp 250-500 juta per caleg DPRD provinsi. Dengan mengalikan
dana investasi politik tersebut dengan jumlah calon legislator yang
berlaga dalam Pemilu 2014, yaitu 6.708 (caleg DPR), 929 (caleg DPD),
23.287 (caleg DPRD provinsi), dan 200.874 (caleg DPRD
kabupatan/kota), akan diperoleh perkiraan jumlah dana yang bergulir
dalam perekonomian.
Suntikan
dana sebesar Rp 115 triliun merupakan berkah tersendiri di tengah
kelesuan perekonomian saat ini. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009
dan alokasi dana APBN, dana Pemilu 2014 akan dibelanjakan di
sektor-sektor yang berkaitan dengan aktivitas kampanye, yaitu 17,99
persen (industri kertas, percetakan, dan barang dari kertas), 12,46
persen (industri tekstil dan pakaian), 17,5 persen (transportasi dan
telekomunikasi), 12,1 persen (industri manufaktur), 13,18 persen
(hotel dan restoran), serta 6 persen (jasa swasta, iklan, dan
lainnya). Sektor-sektor inilah yang akan diuntungkan dengan adanya
Pemilu 2014.
Estimasi
Dartanto, Nowansyah, dan Fairu (2014), dengan menggunakan tabel
input-output 2010 menunjukkan bahwa dana Rp 115 triliun yang berputar
selama Pemilu 2014 akan membangkitkan dampak tidak langsung dalam
perekonomian sebesar Rp 89 triliun. Jadi, dampak langsung dan tidak
langsung Pemilu 2014 adalah sebesar Rp 205 triliun. Dampak tidak
langsung dihasilkan oleh multiplier effect kegiatan kampanye yang
menggairahkan aktivitas ekonomi. Contohnya, kegiatan percetakan suara
serta alat peraga kampanye tidak hanya mendorong aktivitas di sektor
tersebut, tapi juga akan meningkatkan aktivitas industri kertas, cat,
buruh cetak, serta backward and forward linkage lainnya dalam
perekonomian.
Melihat
besarnya dana yang bergulir dalam Pemilu 2014, target pertumbuhan
ekonomi sebesar 6 persen pada 2014 bukanlah hal yang mustahil untuk
dicapai. Dengan skenario moderat-optimistis, aktivitas Pemilu 2014
akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5-0,7 persen.
Sektor-sektor industri yang tumbuh cemerlang dengan adanya Pemilu
2014 adalah industri kertas dan percetakan (7,54 persen), industri
tekstil dan pakaian jadi (2,85 persen), transportasi dan
telekomunikasi (1,37 persen), serta hotel dan restoran (1,65 persen).
Jika
kita melihat dampak Pemilu 2014 terhadap penciptaan lapangan kerja,
tidak ada ruang pesimisme dalam melihat perekonomian Indonesia pada
2014. Aktivitas Pemilu 2014 akan mendorong terciptanya kesempatan
kerja untuk 2,48 juta orang, di mana sebesar 217 ribu kesempatan
kerja tercipta di sektor industri tekstil dan pakaian jadi, 170 ribu
di sektor transportasi dan telekomunikasi, dan 113 ribu di sektor
industri kertas dan percetakan.
Yang
paling menggembirakan adalah terciptanya kesempatan kerja sekitar 894
ribu di sektor jasa-jasa lainnya (yang tidak jelas batasannya),
termasuk aktivitas pengerahan massa dalam kegiatan kampanye dan
saksi-saksi dalam pemilu. Walaupun kesempatan kerja yang tercipta
sebagian besar bukan kesempatan kerja tetap, hal ini sudah cukup
memberi manfaat yang besar dalam membantu mengurangi angka
pengangguran di Indonesia.
Biasanya
sektor-sektor yang tumbuh signifikan saat pemilu adalah sektor
transportasi dan komunikasi, listrik, gas, dan air bersih, jasa-jasa,
kontruksi, pertanian, dan keuangan. Sementara sektor yang turun
adalah pertambangan dan perdagangan.
Lain
halnya menurut pernyataan Sunarsip menilai, Pemilu 2014 tidak
berdampak positif terhadap ekonomi Indonesia dikarenakan beberapa
hal. Di antaranya, regulasi penyelanggara dan pengawas pemilu ketat,
minimnya jumlah keikutsertaan partai politik, serta mudah ditebaknya
siapa pemenang pemilu 2014.
"Dampak ekonominya rendah, kenapa
kecil? Karena peta politik tahun 2014 sudah berbeda 2009 dan 2004.
Kontestan sekarang sudah bisa ketebak, regulasi KPU dan Bawaslu
semakin ketat," ujar Sunarsip.
Selain
itu, kata Sunarsip, jumlah kampanye terbuka semakin sedikit. Apalagi,
penggunaan media kampanye kini relatif beragam, seperti lewat media
jejaring sosial. Dampak ekonomi riil bagi pelaku usaha pun berkurang
drastis.
Masyarakat
sangat berharap dari pelaksanaan Pemilu 2014 dapat bermanfaat secara
positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Setidaknya, pada saat
pelaksanaan Pemilu diharapkan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi
disumbangkan oleh tingkat konsumsi seputar pelaksanaan pemilu.
Peningkatan konsumsi ini didorong dengan tingkat konsumsi di beberapa
sektor, seperti sektor energi dan transportasi. Banyak kalangan juga
menyakini bahwa kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan Pemilu 2014
akan memudahkan pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesa 6% pada
2014 atau sebaliknya kegagalan pelaksanaan Pemilu 2014 juga akan
berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.
Disamping
itu, Pemerintah hasil Pemilu 2014 diharapkan memperbaiki sektor
ekonomi mikro, karena angka pengangguran, kemiskinan masih tinggi,
kesenjangan yang cukup besar antara orang kaya semakin kaya,
infrastruktur, khususnya jalan dan listrik belum memadai dan
perizinan investasi masih belum sesuai harapan. Pemerintah perlu
membuka kesempatan kerja produktif untuk mengurangi pengangguran dan
kemiskinan. Kondisi ini ditunjang dengan meningkatnya jumlah
masyarakat kelas menengah yang lebih dari 5 juta jiwa, sementara dari
segi demografi usia mereka berkisar antara 35 tahun hingga 40 tahun.
Beberapa sektor industri yang dapat dipacu untuk mencapai target
pertumbuhan ekonomi pada 2014 antara lain industri alat transportasi,
industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik, industri
kimia dasar, barang kimia, dan farmasi, industri makanan, serta
industri kertas, barang dari kertas dan percetakan.
Meskipun
demikian, dalam upayanya mengejar target pertumbuhan ekonomi 2014,
pemerintahan hasil Pemilu 2014 diperkirakan masih akan menghadapi
sejumlah kendala antara lain, biaya produksi yang meningkat akibat
kenaikan upah minimum regional, kenaikan tarif dasar listrik,
kenaikan harga gas, tertekannya kinerja industri manufaktur,bencana
banjir, termasuk aksi unjuk rasa buruh yang semakin pasif yang
terjadi sejak awal 2014.
Jika
melirik kepada pendapat Dudley Seers, ekonom pembangunan dari Oxford
menulis The Meaning of Development (1970), tolok ukur pembangunan ada
tiga yaitu apa yang terjadi dengan kemiskinan, pengangguran dan
kesenjangan. Jika salah satu memburuk, sangatlah aneh disebut
pembangunan meski pendapatan berlipat. Maka, selama ini belum dapat
dinilai ada pembangunan di Indonesia.
Oleh
karena itu, politisi dalam kampanye Pemilu 2014 jangan terlalu janji
muluk-muluk, bahkan jangan terlalu mengkultusindividukan atau mematok
seseorang pasti akan bisa menjadi Presiden, karena semuanya dapat
berdampak buruk setelah Pemilu 2014, seperti dikatakan Mathew
Flinders.
Mathew
Flinders dalam Defending Politics : Why Democracy Matters in
Twentieth Century (2012) mengatakan bahwa, apatisme politik kerap
berawal dari ketergantungan politisi terhadap konstituen. Ini yang
membuat mereka mengumbar janji-janji populis, sementara rakyat
mempercayai janji-janji tersebut tanpa syarat. Dalam kondisi
demikian, jalan untuk merehabilitasi ranah politik membutuhnya
hadirnya kedewasaan berpolitik.
Sumber
: